Jumat, 16 November 2012

SISTEM KELEMBAGAAN NEGARA

  • 2.1 Kekuasaan Penyelenggaraan Negara
  • Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
  • 2.1.1 Pembagian Kekuasaan Negara
  • Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi]. Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
  • Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD. Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif  terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK.Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD [Pasal 1 ayat (2)].UUD 1945 salah satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
  • Saat ini lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presiden, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adanya perubahan terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa implikasi pada hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.
  • 2.2 Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan
  • 2.2.1 MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
  • Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
  • 2.2.2 DPR dengan Presiden, DPD, dan MK
  • Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan DPD untuk mewakili daerah.Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan wajib diundangkan.Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
  • 2.2.3 DPD dengan DPR, BPK, dan MK
  • Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah. Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses
  • pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
  • 2.2.4 MA dengan lembaga negara lainnya
  • Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman
  • dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
  • 2.2.5 Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
  • Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
  • 2.2.6 BPK dengan DPR dan DPD
  • BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan
  • dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD.Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
  • 2.2.7 Komisi Yudisial dengan MA
  • Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan
  • Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.Demikian beberapa catatan mengenai tugas, fungsi serta hubungan antar lembaga.
  • 2.3 Lembaga Negara Dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Sebelum Perubahan Uud 1945
  • 2.3.1 Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945
  • Penjelasan UUD 1945 menguraikan dengan jelas sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang dianut oleh undang-undang dasar tersebut. Dalam penjelasan itu diuraikan tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh prinsip pokok, yaitu sebagai berikut:
  • Prinsip negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat) dan prinsip sistem konstitusinal (berdasarkan atas konstitusi) tidak berdasar atas absolutisme. Kedua prinsip ini ditegaskan dalam bagian penjelasan undang-undang dasar itu, tapi tidak tergambar dengan jelas dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan.
  • Prinsip negara hukum seharusnya mengandung tiga prinsip pokok, yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kekuasaan dijalankan berdasarkan atas prinsip due process of law. Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak diatur secara tegas dan rinci dalam pasal-pasal UUD 1945. Pengaturan hak asasi manusia sangat minim yaitu hanya dalam Pasal 28 dan 29 ayat 2, sedangkan Pasal 27, 30 ayat 1 dan 31 ayat 1 yang mengatur tentang hak-hak warga negara. Demikian juga dengan sistem konstitusional. Tidak tergambar dengan jelas pembatasan-pembatasan kekuasaan antara lembaga negara, bahkan memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) suatu kekuasaan yang tidakterbatas.
  • Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan dipegang oleh suatu badan bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3), mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Presiden (pasal 7). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris dari Majelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak mengatur secara rinci mengenai badan negara yang “ super power” ini, terutama struktur dan susunan keanggotaannya termasuk bagaimana mekanisme pengisian anggotanya, dan hubungannya dengan badan-badan negara lainnya. Para perumus UUD 1945, nampaknya sengaja tidak mengatur secara rinci ketentuan-ketentuan UUD 1945 ini, karena pada saat itu UUD 1945 dimaksudkan sebagai undang-ndang dasar yang supel, dinamis dan hal-hal yang rinci diserahkan pada semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan, yaitu sesuai dengan keadaan negara baru yang dinamis. Lagipula UUD 1945 dibuat pada saat revolusi yang terus bisa berubah.
  • Dalam praktek ketatanegaraan kita, badan ini pernah menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, mengangkat Presiden secara terus menerus sampai tujuh kali berturut-turut (Soeharto), dua kali memberhentikan Presiden (Soekarno dan Abdurrahman Wahid), satu kali meminta Presiden mundur (Soeharto), dan satu kali tidak memperpanjang masa jabatan Presiden (B.J. Habibie). Tidak ada suatu lembaga negara yang dapat membatasi kekuasaan dan tindakan badan ini (MPR), kecuali MPR itu sendiri yang dapat membatasi dirinya. Hanya gerakan rakyat dalam suatu revolusilah yang dapat mempengaruhi kekuasaan MPR. Itulah yang terjadi pada tahun 1966-1967 dan tahun 1998. Siapa yang dapat menguasai MPR, ia telah menguasai kekuasaan negara, demikian juga sebaliknya. Hal ini dirasakan oleh seluruh Presiden kita selama berlakunya undang-undang dasar ini. Ada Presiden yang diberi kekuasaan seumur hidup (Soekarno), hampir seumur hidup (Soeharto), Presiden yang diberhentikan dengan penuh gejolak (Soekarno dan Abdurrahman Wahid), memegang kekuasaan yang sangat pendek yaitu B.J.Habibie dan Abdurrahman Wahid. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, badan negara yang paling mungkin dapat mempengaruhi MPR ini adalah Presiden, karena Presiden memiliki banyak kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945. Dengan dasar inilah Soerkarno pernah sangat berpengaruh terhadap MPR, karena anggota-anggota diangkat dan ditetapkan oleh Presiden. Demikian juga masa Soeharto, pernah sangat menguasai badan ini, dimana setengah dari anggota MPR diangkat oleh Presiden. Dalam kondisi yang demikian Presiden tinggal mempengaruhi anggota MPR yang berasal dari DPR yaitu partai politik peserta pemilu, dan pada saat pemerintahan Orde Baru, Presiden menguasai Golkar. Dengan demikian lengkaplah kekuasaan Presiden menguasai MPR, karena itu apapun yang dikehendaki Presiden tidak kuasa untuk ditolak oleh MPR. MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara (TAP MPR No. III/1978), sedangkan lembaga negara yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara dan Presiden memegang posisi sentral karena dialah mandataris MPR. Dengan cara berfikir yang demikianlah lembaga-lembaga negara yang lain melapor setiap tahun seperti pada periode 1999-2004.
  • 2.4 Lembaga Negara Dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Sesudah Perubahan UUD 1945
  • 2.4.1 Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945
  • Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
  • 2.4.2 Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
  • • Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
  • • Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
  • • Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
  • • Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
  • • Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
  • • Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

  1.  MASA REVOLUSI FISIK DI WILAYAH REPUBLIK INDONESIA (1945 – 1949)
a.    UU No. 1 Tahun 1945
Sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan antara lain bahwa untuk sementara wilayah Indonesia dibagi dalam 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Provinsi dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
Sesuai dengan keadaan di Jawa dan Sumatera, KND dibentuk melalui maklumat Gubernur Sumatera No. 8/M.G.S, yang isinya meniru UU No. 1 Tahun 1945 yang menyatakan KND dibentuk di provinsi, keresidenan, kota otonom dan daerah-daerah lainnya yang dianggap perlu. KND ini menjadi DPRD yang mengatur rumah tangganya sendiri. Seperti di Jawa, DPRD membentuk BE sebanyak 5 orang dan kerjanya sama dengan Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1945. Akan tetapi di Sumatera, Kepala Daerah menjadi ketua merangkap anggota dari Badan Eksekutif dan Badan Yudikatif (DPRD), sehingga mempunyai hak suara. Ketua KND lama diangkat menjadi Wakil Ketua DPRD dan BE. Di Provinsi Sumatera dibentuk sebuah DPRD dengan nama Dewan Perwakilan Sumatera yang beranggota 100 orang sebagai wakil dari keresidenan-keresidenan dengan perbandingan 100 ribu penduduk memperoleh seorang wakil. Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi, yaitu:
a.    Sub Provinsi  Sumatera Selatan, meliputi Keresidenan Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung dan Palembang;
b.    Sub Provinsi Sumatera Tengah, meliputi Keresidenan Jambi, Riau dan Sumatera Barat;
c.    Sub Provinsi Sumatera Utara, meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.
Daerah Yogyakarta ada 2 kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Kedudukan Kesultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia Belanda (HB) diikat dalam perjanjian (kontrak) politik jangka panjang. Kedudukan Pakualaman diikat dengan perjanjian politik jangka pendek. Pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia (RI) menerbitkan piagam kedudukan yang disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyatakan bahwa keduanya menjadi kepala daerah masing-masing sebagai bagian dari Wilayah RI. Dalam proses selanjutnya kedua daerah bergabung menjadi satu Daerah Istimewa Yogyakarta, dan memiliki 1 Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD).
Kesunanan Surakarta dan mangkunegaran pada waktu Pemerintahan HB juga terikat kontrak politik jangka panjang dan jangka pendek. Setelah kemerdekaan dan diterbitkan Piagam Presiden RI yang menyatakan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunegaran VIII menjadi kepala daerah masing-masing dan dibentuk KND, dan atas usul Badan Pekerja Harian di wilayah ini dibentuk pemerintahan directorium. Terjadi pro dan kontra, pihak mangkunegaran tidak menyetujui pemerintahan bentuk tersebut. Pemerintahan tidak berjalan lancar, Kabupaten Karanganyar, diikuti Boyolali, Klaten dan Sragen melepaskan diri dari Mangkunegaran. Akhirnya pada tanggal 15 Juli 1946, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 16/S.D. yang menyatakan, antara lain: Sebelum bentuk pemerintahan daerah kesunanan dan mangkunegaran ditetapkan dengan UU, untuk sementara kedua daerah tersebut dipandang sebagai satu keresidenan Surakarta.
Pendeklarasian Keresidenan Surakarta dan mangkunegaran segera dimulai dengan membentuk DPRD di Keresidenan Kabupaten dan Kota Surakarta. Walaupun pada awalnya pemerintahan Keresidenan Surakarta mendapat banyak hambatan dari pihak kesunanan, tetapi tetap berjalan. Oleh karenanya Ex Kesunanan Surakarta tidak menjadi Daerah Istimewa seperti Yogyakarta.
b.    UU NO. 22 Tahun 1948
Pembagian daerah otonom menurut UU ini dapat dibedakan ke dalam 2 jenis dan 3 tingkatan, yaitu:
a.    Jenis daerah otonomi biasa, terdiri dari tingkat provinsi, tingkat kabupaten, kota besar, daerah istimewa setingkat kabupaten dan tingkat desa atau kota kecil;
b.    Jenis daerah otonomi istimewa, terdiri dari tingkat daerah istimewa setingkat provinsi, tingkat kabupaten, kota besar, tingkat desa dan kota kecil
Kewajiban yang diserahkan kepada daerah menurut  UU ini adalah:
1.    Penyerahan Penuh, artinya meliputi azasnya (prinsip-prinsip), caranya menjalankan kewajiban/pekerjaan yang diserahkan itu diberikan semuanya kepada daerah (hak otonomi)
2.    Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan pekerjaan saja, prinsip-prinsipnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat sendiri (hak medebewind)
Sumber Keuangan daerah berasal dari Pajak daerah termasuk retribusi, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang disewakan kepada daerah, lain-lain (pinjaman, subsidi/sokongan, hasil penjualan/penyewaan barang milik daerah, derma: warisan/wakaf dari penduduk, hasil undian). Dengan adanya sumber keuangan ini, tidak ada lagi penutupan/penggalangan dari pemerintah pusat.

II.    MASA  REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (1949 -1950)
A.    Hindia Belanda
Setelah Pemerintah HB kembali di Indonesia, mencari siasat supaya tetap mempertahankan kekuasaannya, pucuk pimpinan Pemerintah HB, yaitu H.J. Van Mook, mencetuskan gagasan tentang pembentukan Negara Serikat/federal. Diawali dengan Konferensi Malino di Sulawesi pada Tanggal 15 -25 Juli 1946, dihadiri oleh wakil-wakil daerah yang telah dikuasai kembali oleh Belanda, dilanjutkan dengan Konferensi Pangkalpinang di Pulau Bangka pada Tanggal 1-12 Oktober 1946. Seterusnya Konferensi Denpasar di Pulau Bali pada Tanggal 2-24 Desember 1946 memastikan terbentuknya Negara Indonesia Serikat, yaitu ditandai oleh lahirnya Negara Indonesia Timur yang meliputi pulau-pulau Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku.
B.    Daerah Otonom dalam RIS
Menurut pasal 2 Konsitusi RIS, negara federal ini disusun atas 7 Negara Bagian dan 9 satuan kenegaraan yang tegak berdiri. Irian Barat tidak masuk ke dalam RIS karena masih merupakan sengketa antara Belanda dan Indonesia yang menurut rencana akan diselesaikan dalam jangka 1 (satu) tahun. Ada juga beberapa wilayah yang tidak merupakan negara bagian RIS, yaitu distrik Federal Jakarta, Kota Waringin, Padang dan Sabang. Pemerintahan atas daerah ini dilakukan oleh alat perlengkapan federal.

III.    MASA DESENTRALISASI DALAM NKRI (1950-1959/DEKRIT PRESIDEN)
A.    Pembentukan Provinsi dan Daerah Istimewa setingkat provinsi
Setelah pengakuan kedaulatan dan kembali ke Negara Kesatuan, Pemerintah RI dapat mencurahkan kembali perhatian untuk melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonomi dalam rangka desentralisasi sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1948. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembentukan provinsi, selanjutnya berturut-turut dibentuk:
1.    Provinsi Jawa Timur, meliputi: Keresidenan-keresidenan Besuki, Bojonegoro, Kediri, Madiun, Madura, Malang dan Surabaya;
2.    Provinsi Jawa Tengah, meliputi: Keresidenan-keresidenan Banyumas, Kedu, Pati, Pekalongan, Semarang dan Surakarta;
3.    Provinsi Jawa Barat, meliputi: Keresidenan-keresidenan Banten, Bogor, Jakarta, Priangan dan Cirebon;
4.    Provinsi Sumatera Selatan, meliputi: Keresidenan-keresidenan Bangka, Belitung, Bengkulu, Lampung dan Palembang;
5.    Provinsi Sumatera Tengah, meliputi: Keresidenan-keresidenan Jambi, Riau dan Sumatera Barat;
6.    Provinsi Sumatera Utara, meliputi: Keresidenan-keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.

B.    Pembentukan Kabupaten, Kota Besar, Kota Kecil
Langkah lebih lanjut setelah pembentukan provinsi adalah pembentukan kabupaten, kota besar dan kota kecil yang masing-masing mendapat hak otonom menurut urusan yang kurang lebih sama setiap daerah yaitu 15 urusan.
C.    PP Nomor 39 Tahun 1950
Sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 22 Tahun 1948, dalam PP No. 39 Tahun 1950 untuk Pembentukan aparatur daerah. Peraturan ini dimungkinkan untuk segera dibentuk pemerintah daerah di tingkat provinsi, Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil dalam kerangka NKRI. Pemerintah Daerah (Pemda) yang dibentuk adalah DPRD Sementara (DPRD-S) dan DPD Sementara (DPD-S). Dengan adanya mosi dari anggota DPR-S untuk mencabut PP No 39 Tahun 1950 karena dianggap kurang demokratis dan banyak kekurangannya, serta telah berlangsungnya Pemilu pada September 1955 maka PP No 39 Tahun 1950 dibekukan dan keluarlah UU No 14 Tahun 1956. Dalam hal ini DPR-S meletakan jabatan bersama-sama pada tanggal 1 Juli 1956. UU No. 14 Tahun 1956 merupakan UU peralihan sampai ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1957 oleh DPR hasil Pemilu 1955.
D.    UU Nomor 1 Tahun 1957
UU ini disebut juga UU tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah 1956. Adapun Ketentuan-ketentuan pokok di dalamnya adalah sebagai berikut:
1.    Sistem Otonomi Riil, sebagai suatu sistem ketatanegaraan dalam penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan keadaan dan fakta-fakta yang nyata sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah-daerah atau pusat. Tidak digariskan secara tegas yang mana menjadi urusan Rumah tangga masing-masing daerah dan manakah menjadi urusan pusat. Hanya sebagai patokan ditetapkan bahwa menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan sendiri oleh pusat kepada dirinya sendiri untuk diatur dan diurus. Urusan pusat yang tidak diatur secara tegas dalam peraturan perndangan yang tertulis dimasukan ke dalam pengertian Kepentingan Umum  atau kepentingan Nasional. Selain dari apa yang dipegang sendiri oleh pusat dan yang termasuk kepentingan umum itu merupakan urusan dan kepentingan rumah tangga daerah.
2.    Pembagian daerah, pasal 2 ayat 1 menetapkan: bahwa RI dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya. Istilah daerah merupakan istilah teknis yang berarti suatu organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk pengertian teritorium dipakai istilah wilayah. Daerah dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: Daerah Swatantra dan daerah Istimewa (daerah swapraja). Kedua daerah ini terletak pada kedudukan kepala daerahnya saja. Daerah juga dibedakan dalam 3 tingkatan, yaitu:
a.    Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta
b.    Daerah Tingkat II, termasuk Kotapraja
c.    Daerah Tingkat III
Kota praja walaupun tergolong daerah tingkat II, tidak dapat dibagi ke dalam daerah tingkat II, kecuali Jakarta Raya. Daerah Tingkat I adalah provinsi, tingkat II adalah kabupaten, tingkat III namanya dapat diberikan di dalam peraturan pembentukan. Pembentukan suatu daerah dan perubahan wilayahnya ditentukan dengan UU.
3.    Hubungan Kekuasaan antara daerah dengan pusat. Pasal terpenting yang mendukungnya dalam pasal 31, 32, 33 dan 38.
4.    Adanya otonomi daerah di daerah-daerah tidak boleh mengakibatkan rusaknya hubungan negara dalam negara kesatuan. Oleh karena itu pemerintah pusat mempunyai hak untuk menjaga supaya hal tersebut tidak terjadi. Dalam UU ini menetapkan ada 4 macam hak, yaitu:
a.    Hak pengawasan    : Preventif dan Refresif
b.    Hak Angket    : untuk menyelidiki pelaksanaan otonomi dan medebewind
c.    Hak Sangsi    : Apabila daerah melalaikan mengurus rumah tangganya sendiri, pemerintah pusat berhak menetapkan suatu cara untuk mengurus daerah itu.
d.    Hak Yudisil    : untuk mengadili sengketa

IV.    MASA SETELAH DEKRIT PRESIDEN/ORDE LAMA (1959-1966)
A.    Kembali Ke UUD 1945
Setelah berlakunya UUD 1945, dibentuk MPRS dan DPAS, DPR dipilih oleh rakyat pada Tahun 1955 berjalan terus dan menjalankan fungsinya sesuai dengan UUD 1945 ditambah anggota DPD terdiri dari wakil golongan politik dan golongan fungsional, kemudian dinamakan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), serta harus bersedia melaksanakan Manipol-usdek (Manifesto politik, UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian). Hal ini dinyatakan pada Tanggal 17 Agustus 1945.
B.    UU No. 18 tahun 1965
Dalam UU ini diantaranya diatur:
1. Pembagian Daerah
a. Provinsi dan atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat I
b. Kabupaten dan atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II
c. Kecamatan dan atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III
d. Daerah Swatantra Tingkat I, DI Yogyakarta, DI Aceh menjadi Provinsi
e. Daerah Khusus Jakarta Raya menjadi Kota Raya.
2. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
a. Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD
b. Kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah sehari-hari dibantu Wakil Kepala daerah dan Badan Pemerintahan Harian.
3. Kepala Daerah
a. Kepala Daerah diangkat Oleh:
o    Presiden bagi DT I
o    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas persetujuan Presiden bagi DT II
o    Kepala DT I atas persetujuan Mendagri bagi DT III yang ada dalam DT I
4. Wakil Kepala Daerah
Bagi DT I, Waka diangkat dengan minimal 2 calon maksimal 4 calon oleh presiden. Bagi DT II oleh Mendagri dengan persetujuan Presiden. Bagi DT III oleh Kepala DT I dengan persetujuan Mendagri.
           

V.    MASA ORDE BARU (1966-1997)
Pada saat ini lahir UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Dalam UU ini juga terdapat pengertian-pengertian tentang pemerintahan, yaitu:
a.    Pemerintah Pusat atau pemerintahan adalah perangkat NKRI yang terdiri dari presiden beserta       pembantu-pembantunya.
b.    Pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD
c.    Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada  daerah menjadi urusan rumah tangganya
d.    Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri
e.    Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya
f.    Daerah otonom disebut daerah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam ikatan NKRI
g.    Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah (kepala wilayah atau instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah
h.    Wilayah administratif disebut wilayah adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan umum di daerah
i.    Instansi vertikal adalah perangkat dari departemen-departemen atau lembaga-lembaga bukan departemen yang mempunyai lingkungan kerja di wilayah bersangkutan.
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, wilayah NKRI dibagi dalam daerah otonomi dan wilayah administrastif.
a.     Daerah Otonom
o    Dalam Rangka azas desentralisasi dibentuk dan disusun DT I dan DT II
o    Perkembangan dan pengembangan otonomi didasarkan pada kondisi Poleksosbudhankam
o    Pengaturan Daerah otonom ada dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), Pasal 11, Pasal 12
b.    Wilayah Administrasi
o    Pada hakekatnya adalah pemerintah pusat yang diberikan  azas dekosentrasi.
o    Dibentuk Provinsi, Kabupaten, kecamatan dan kelurahan
Apabila melihat hal ini maka kepala daerah TK I adalah penguasa tunggal, karena Gubernur berdasarkan tugas dari pusat atau pemegang hak dekosentrasi dan kepala daerah DT I merupakan pemegang hak otonomi.

VI.    MASA TRANSISI (1997-SEKARANG)
A. UU. No. 22 tahun 1999
Prinsip-prinsip Otonomi daerah dalam UU ini:
1.    Penyelenggaraan Otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
2.    Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dan bertanggung jawab
3.    Pelaksanaan otonomi daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi terbatas
4.    Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
5.    Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, sehingga dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak lagi ada wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan kehutanan, kawasan pertambangan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacam itu berlaku ketentuan peraturan daerah otonom
6.    Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.    Pelaksanaan asas dekosentrasi diletakan pada daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
8.    Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana, serta sumber dan manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Pembagian daerah, dengan pokok-pokoknya sebagai berikut:
1.    Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam rangka NKRI
2.    Daerah yang dibentuk berdasarkan desentralisasi dan dekosentrasi adalah daerah provinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
3.    Pembagian daerah di luar daerah provinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian wilayah administrasi yang berada dalam daerah kabupaten dan daerah kota dapat dijadikan daerah otonom atau dihapus
4.    Kecamatan yang menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebagai daerah administrasi dalam rangka dekosentrasi, menurut UU ini kedudukannya diubah menjadi perangkat daerah kabupaten atau daerah kota.
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, adalah:
1.    Digunakannya asas desentraslisasi, dekosentrasi, dan tugas pembantuan
2.    Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota
3.    Asas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa.

b. UU No.32 Tahun 2004
Otonomi seluas-luasnya, yaitu daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan sendiri untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Otonomi nyata, suatu prinsip untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi bertanggung jawab, adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakayat yang merupakan bagian utama dari tujan nasional.
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Penetapan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan daerah khusus.
Pembagian Urusan Pemerintah:
1.    Urusan Pemerintah Pusat: Politik Luar Negeri, pertahanan dan keamanan, Moneter, Yustisi, dan agama dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional.
2.    Urusan yang bersifat  Concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Kriteria urusan concurrent yaitu:
a.    Eksternalitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Dampak lokal menjadi urusan kabupaten/kota, regional menjadi urusan provinsi nasional menjadi kewenangan pemerintah.
b.    Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah perangkat pemerintah yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
c.    Efesiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagaian urusan.
d.    Keserasian hubungan, yaitu pengelolaan bagian urusan pemerintah dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan
Pemerintahan Daerah, adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis dipilih oleh rakyat secara langsung berdasarkan UU No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Perangkat Daerah, adalah pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terdiri dari:
a.    Sekretariat: unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi
b.    Lembaga Teknis daerah: Unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik
c.    Lembaga Dinas Daerah: unsur pelaksana urusan daerah
Keuangan Daerah, Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Hak daerah untuk mendapatkan sumber keuangan, berupa:
a.    Kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan
b.    Kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah
c.    Mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan Dana perimbangan lainnya
d.    Mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.
Peraturan daerah dan Peraturan kepala daerah, Penyelenggara pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya serta kuasa peraturan perundangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan melalui Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Perda dibuat bersama antara pemerintah daerah dan DPRD.
Kepegawaian Daerah, suatu sistem dan prosedur yang diatur dalam perundangan sekurang-kurangnya meliputi perencanaan, persyaratan, pengangkatan, penempatan, pendidikan dan pelatihan, penggajian, pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban, tanggung jawab, larangan, sanksi dan penghargaan yang merupakan subsistem dari sistem kepegawaian nasional.
Pembinaan dan pengawasan, Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapai tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaiman dimaksud dalam UUD 1945. Sebagai wahana demokrasi di desa dibentuk BPD  atau sebutan lainnya yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan. Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau walikota melalui camat. Kepada BPD, kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya. Akan tetapi, rakyat melalui BPD bisa menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal lain yang berjalan dengan pertanggungjawaban yang dimaksud.

Jumat, 09 November 2012

Hak Asasi Manusia

-->
1.    Yang menjadi  hambatan dalam proses penanganan  HAM di Indonesia ialah antara lain :
a.    Kultur budaya
Disadari atau tidak, bahwa kultur budaya menjadi salahsatu faktor hambatan dalam proses penanganan HAM. Karena budayalah yang mempengarui perbedaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sehingga apabila terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia haruslah lembaga advokasi di wilayah itu yang menyelesaikannya.
b.   Lembaga advokasi HAM
Sedikitnya lembaga yang mengadvikasi ham dan kurang berpengalamannya lembaga tersebut untuk menangani pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu factor hambatan dalam proses penanganan HAM di Indonesia.
c.    Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan berbangsa dan bernegara diperlukan: 1) adanya personil pemerintahan yang berkualitas, 2) aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggung jawab; 3) terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi yang jelas, 4) terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor menjaga keutuhan bangsa dan negara, 5) adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar HAM, 6) tersedianya "bantuan hukum" (legal-aid) di mana-mana, 7) terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga bersinergi.
Dalam memasuki abad ke -21 banyak tantangan besar yang dihadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya didalam era Reformasi Hukum dan dapat dielaborasi kedalam tiga model lingkungan, yaitu:
1.     Lingkungan yang memiliki aspek-aspek nasional dan internasional. Kedua lingkungan tersebut berinteraksi secara simbiosis, mutualistis, karena baik buruknya penegakan hukum di Indonesia dapat dipengeruhi oleh kedua lingkungan tersebut.
2.     Lingkungan strategis yang memiliki aspek Internasional. Berkaitan langsung dengan politik perdagangan global yang menempatkan negara selatan debagai tempat pemasaran produk-produk global negara utara. Oleh karena itu, timbul tuntutan untuk menciptakan iklim dan lingkungan dunia perdagangan serta usaha kondusif dan sehat bagi hubungan perdagangan, baik bilateral ataupun multilateral. Menghadapi tantangan lingkungan staregis yang bersifat Internasional pemerintah Republik Indonesia telah melakukan kebijakan-kebijakan. Kebijakan –kebijakan tersebut, yaitu penegakan GTO/WTO, melakukan penyusunan rancangan Undang-Undang Arbitrase, undang-undak Kepailitan, telah melakukan serta revisi undang-undang dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), telah memberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli (Competition Act), serta sudah memberlakukan Undang-undang Perlindungan Konsumen (Consume’s) Undang –undang No.8 1998/1999.
3.     Lingkungan strategis yang memiliki aspek nasional. Dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan keamanan. Di dalamnya termasuk pembentukan hukum yang aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat dan mendukung kehidupan politik yang sehat. Hal tersebut juga disertai dan diperkuat oleh penegakan hukum yang tegas konsisten dengan dilandasi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, asas kedilan, dan asas mufakat.

4.     Kebijakan pemerintah menghadapi tantangan lingkungan strategis yang bersifat nasional dalam bidang perundang-undangan, antara lain:
a.    Pencabutan Undang-undang Subversi dan penambahan/ perluasan ke dalam KUHP.
b.   Revisi undang-undang tentang Tindak pidana Korupsi.
c.    Mengajukan rancangan Undang – undang tentang HAM dan pembentukan KOMNAS HAM.
d.   Pemberlakuan Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dari KKN.
e.    Memberlakukan Undang- Undang No. 2/2002 dan Undang-Undang No. 3/2002 tentang Hankam dan pemisahan TNI serta POL.
2.   lembaga-lembaga yang dapat mengadvokasi bagi tersangka pelanggaran HAM di Indonesia ialah antara lain :
KOMNASPA, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), LBH,Kontras, Lemsiham (Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia), PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia), LPHAM (Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia).
3. pelanggaran HAM di Indonesia dapat diadili di pengadilan HAM Internasional tetapi hanya pelanggaran HAM berat ,contohnya Genosida (Pembantaian suku Ras ,dan Agama ) ,Kejahatan perang.Disamping itu asalkan masalah HAM tersebut terikat oleh agreement international  (perjanjian/kesepakatan international).